Kategori

Jumat

Sejarah Lagu Lir Ilir - Asli Dari Jawa Indonesia

 
Tembang Lir-Ilir yang banyak dianggap lagu dolanan anak-anak ini sebetulnya adalah bukti kepandaian para wali Songo dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui cara yang sangat menyenangkan dan tak terasa menggurui. Kata-kata dalam tembang itu seolah-olah deretan kata-kata biasa yang menggambarkan keriangan dunia kanak-kanak. Namun jika dibaca sungguh-sungguh, akan banyak makna agamawi yang muncul.
 
Lir-ilir, lir-ilir
(Bangun, bangunlah (dari tidur)

Tandure wis sumilir
(Pohon sudah mulai bersemi)

Tak ijo royo-royo
(demikian menghijau)

Tak senggo temanten anyar
(Bagaikan gairah penganten baru)


Cah angon, cah angon
(Anak penggembala, anak penggembala)

Penekno blimbing kuwi
(Panjatlah pohon belimbing itu)

Lunyu-lunyu yo penekno
(Walau susah tetap panjatlah)

Kanggo mbasuh dodotiro
(Berguna untuk cuci pakaianmu)


Dodotiro, dodotiro
(Pakaian-pakaian yang buruk)

Kumitir bedhah ing pinggir
(Disisihkan dan jahitlah)

Dondomono jlumatono
(Benahilah untuk)

Kanggo sebo mengko sore
(Menghadap nanti sore)


Mumpung padhang rembulane
(Mumpung terang rembulannya)

Mumpung jembar kalangane
(Mumpung banyak waktu luang)

Yo surako.. surak hiyo
(Mari bersorak-sorak hayo)

Begitulah bunyi tembang yang sering dinyanyikan anak-anak Jawa ini konon diciptakan oleh Sunan Kali Jaga, meskipun ada juga yang mengatakan bahwa tembang ini ciptaan Sunan Ampel. saking indah dan dalamnya makna syair dari tembang ini sehingga profesor harpa Carroll McLaughlin dari Universitas Arizona pernah menggubah lagu ini untuk repertoar harpa dan dibawakan pada pagelaran jazz "Harp to Heart" yang diikuti antara lain oleh pemain harpa Maya Hasan (Indonesia), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (AS), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico).

Fakta sejarah :

Tembang Lir-Ilir yang banyak dianggap lagu dolanan anak-anak ini sebetulnya adalah bukti kepandaian para wali Songo dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui cara yang sangat menyenangkan dan tak terasa menggurui. Kata-kata dalam tembang itu seolah-olah deretan kata-kata biasa yang menggambarkan keriangan dunia kanak-kanak. Namun jika dibaca sungguh-sungguh, akan banyak makna agamawi yang muncul.

Dimulai dari kata "bangun, bangunlah", dari keadaan tidur, yang sering dilihat para ulama sebagai keadaan mati sementara, akan timbul pertanyaan : apanya yang harus dibangunkan atau dihidupkan? ruh kah? Kesadaran? Atau pikiran? tetapi maksud kata "Lir-ilir" yang juga mengandung gerakan angin semilir ini bisa juga ditafsirkan sebagai imbauan lembut dan ajakan untuk berzikir. Zikir yang akan menghidupkan apa yang tadinya melenakan. Zikir untuk kembali siaga.
 
Baris "tandure wis semilir tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar" bisa diartikan bahwa zikir sudah dikerjakan, maka akan menghasilkan kehidupan yang indah dan nyaman seperti pohon hijau yang rindang, yang bermanfaat sebagai tempat berteduh banyak makhluk Allah di muka bumi. Setelah itu, meski kalimat sesudahnya mengaitkan kesejukan dan rindang pohon dengan kesejukan pengantin baru, ada juga tafsir lain bahwa yang dimaksud sunan Kali Jaga saat menuliskan kata-kata "pengantin baru" ini adalah raja-raja mataram yang baru memeluk islam, setelah sebelumnya memeluk agama leluhur. Karena dengan berpindahnya keyakinan seorang raja, biasanya juga akan diikuti dengan perpindahan keyakinan rakyat sehingga bisa dilihat seperti pohon hijau yang rimbun "ijo royo-royo".

Yang lebih menarik adalah baris selanjutnya yang dimulai dengan "Cah angon, cah angon..." Mengapa harus anak penggembala, bukan kyai? Inilah suatu kecerdasan Sunan Kali Jaga yang lain dalam konsep figur imamat. Penggembala adalah seseorang yang mengarahkan hewan gembalanya agar tidak tersesat, layaknya seorang imam yang membimbing makmumnya pada jalan yang benar.

Kalimat "penekno blimbing kuwi" maknanya adalah karena belimbing adalah buah berwarna hijau dengan lima buah sisi yang bisa dianggap sebagai simbol dari lima rukun islam. Sedangkan "penekno" merupakan ajakan untuk memeluk dan menjalankan syariat islam.

"Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro" Jika sesorang sudah berpegang pada rukun islam, maka akan mudah baginya untuk membersihkan hati, pikiran, ketakwaan, sebagai bagian dari "pakaian" yang digunakan sehari-hari. Sebab jika tidak dibersihkan secara rutin dan sungguh-sungguh pakaian itu bisa terliha lusuh dan buruk dimata orang lain.

Karena itu, jika pakaian takwa dan keimanan sudah mulai terlihat lusuh, baris-baris kalimat "dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir" yang berarti bahwa pakaian yang sudah mulai lusuh harus segera dipinggirkan, bukan maksud untuk dibuang, melainkan untuk dijahit kembali, diperbaiki agar secepatnya terlihat indah lagi.

"Dondomono jlumatono kangge sebo mengko sore" seorang muslim sudah selayaknya sebelum kematian datang "diwaktu sore", atau ujng umur sesorang yang diperkenankan oleh Allah SWT.

Tembang itu ditutup dengan himbauan yang sangat menyejukan hati bahwa segalanya harus segera dilakukan "\mumpung terang rembulane, mumpung jembar kalangane" yang bermakna, mumpung terang rembulannya, mumpung banyak waktu luang", Karena jika sinar rembulan sudah redup, alam semesta gelap, dan tak ada lagi waktu luang untuk berbenah, sia-sia saja seluruh kenginan untuk memperbaiki pakaian takwa jika waktunya sudah tidak memungkinkan.

Seluruh lagu akhirnya ditutup dengan kata-kata riang gembira "yo surako surak hiyo" yang berarti sambutlah seruan ini dengan surak sorai dan keceriaan untuk menjalankan syariat dalam kehidupan sehari-hari. Jika selruh kalimat dalam tembang Lir-Ilir diteliti dengan cara seperti ini, sulit untuk mengatakan bahwa Sunan Kali Jaga, atau siapapun wali songo yang ,menciptakan lagu ini, hanya untuk anak-anak, karena sesungguhnya ada pesan lebih serius yang ditempatkan dalam kata-kata riang itu.




sumber : Novel Sang Pencerah - Akmal Nasery Basral

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan coment bermanfaat dari artikel diatas, budayakan membaca sebelum bertanya. Terima kasih!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...