Kategori

Sabtu

Jendral Sudirman, Jendral Besar Indonesia


Pantaskah Soedirman Disebut “Jenderal Besar”?

Jenderal Besar Soedirman
Pantaskah Soedirman (ejaan Soewandi: Sudirman) disebut sebagai “Jenderal Besar”? Pertanyaan inilah yang sempat mengusik pikiran saya! Bagaimana tidak? Dari berbagai tokoh pejuang yang saya kenal, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri belum pernah atau bahkan mungkin tidak akan pernah saya jumpai seorang tokoh dengan sebutan “Jenderal Besar”!!. Setelah berusaha mencari dari berbagai sumber mengenai sejarah biografi beliau, hasilnya…. woooow… Sungguh sangat tidak mengherankan ia mendapatkan gelar tsb!! Benar-benar pantas!!! Bahkan kalau boleh saya katakan, Soedirman-lah tokoh sekaligus pahlawan Indonesia ‘terbesar’ sepanjang masa!! Kita generasi penerus bangsa adalah cucu-cucu dari mereka wajib & harus tahu tentang kenyataan sejarah ini.

Jenderal kelahiran Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916 ini, sudah menjadi seorang jenderal saat usianya masih 28 tahun, sehingga menjadikan dirinya tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda di Republik ini.

Pelantikan Jendral Soedirman dilakukan oleh President Soekarno
Pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang. Walau dikenal tegas, namun beliau juga adalah sosok yang sangat sederhana, rendah hati dan murah senyum.


Beliau tidak hanya dikenal sebagai sosok yang tegas, namun juga sosok yang amat sederhana, rendah hati dan murah senyum, sehingga sangat disegani oleh kawan maupun lawan.

Pada masa pendudukan Jepang, Jenderal Besar Sudirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan, dimana disitu beliau mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Mungkin karena terlahir dari keluarga religius, sehingga sebelumnya beliau pernah pula menjadi seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan. Pernah suatu ketika, ada seorang pengkhianat yang melapor kepada Belanda ttg keberadaannya. Anak buah beliau yang setia sempat mencium gelagat ini, sehingga menyarankan Jend. Sudirman untuk segera pergi jauh. Dalam keadaannya yang sudah kronis, Sudirman berpikir bahwa hal tsb sudah sulit untuk dilakukan! Maka tak lama kemudian, ia menyuruh seluruh anak buahnya berkumpul di masjid dengan berpakaian muslim lengkap (pakai sarung dan kopiah). Beliaupun berpakaian yang sama, namun plus sorban. Setelah Belanda sampai pada tempat yang ditunjuk oleh si pengkhianat, mereka bingung karena tidak melihat Sudirman beserta anak buahnya! Setelah mencari-cari, maka si pengkhianat mengatakan pada pimpinan kompeni bahwa Sudirman ada di Masjid!. Sesampai di Masjid, mereka melihat orang-orang yang baru saja menyelesaikan shalat (dimana Jend. Sudirman bertindak sebagai imamnya). Pimpinan Kompeni bertanya: “Mana Soedirman???” Si pengkhianat mengatakan: “Itu dia!!”. “Lho, itukan Pak Kyai! Kamu mencoba menipu kami yach?”. Si pengkhianat menjawab : “Tidak, itu benar!, dialah Jenderal Sudirman!”. Maka pimpinan kompeni bertanya pada orang-orang sekitar, “Benarkah itu Jenderal Sudirman?” Orang-orang sekitar menjawab: “Tidak! Itu Pak Kyai!” Mendengar jawaban tsb, pimpinan kompeni marah, dan menembak mati si pengkhianat tadi, karena dianggap telah melecehkan pasukan Belanda!


Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Beliau adalah pribadi yang cerdas serta teguh pada prinsip dan keyakinan, serta selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak peduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda.

Walaupun digerogoti TBC, beliau tetap teguh menjalankan tugas dan amanat sebagai Panglima Besar Tentara.
Hal ini dapat dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebut merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Inilah para gerilyawan yang beliau pimpin, berjuang keluar masuk hutan naik turun gunung demi kita anak cucu mereka.

Berjuang dengan persenjataan seadanya, melawan musuh yang memiliki persenjataan modern didukung kekuatan laut dan udara.

Gerilya berdasar kepada taktik hit and run, dan ini ampuh untuk merontokkan moral Belanda.
Setelah Indonesia menyatakan diri merdeka (tgl 17 Agutus 1945), dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tetapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan, namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai Panglima TNI.

Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.


Beliau - dalam keadaan sakit parah, paru-paru tinggal sebelah - tetap memaksakan diri bergerilya melawan Belanda. Bukan materi yang beliau kejar, bukan gaji besar, bukan fasilitas. Beliau bahkan tidak digaji. Presiden dan Perdana Menteri sudah ditangkap Belanda dalam Agresi Militer (Aksi Polisionil) Belanda ke-2. Beliau menjual perhiasan istrinya untuk modal perjuangan, berpindah dari hutan ke hutan, dengan kondisi medan yang sangat berat, dibayang-bayangi pengejaran tentara Belanda lewat darat dan udara.

Di tengah kondisi kesehatan beliau yang makin mengkhawatirkan itu, banyak pihak yang menyarankan agar beliau berhenti bergerilya, namun semangat juang beliau tidak dapat dipatahkan oleh siapapun juga. Beliau terus gigih berjuang, tidak mempedulikan lagi keselamatan dirinya. Bagi beliau, lebih baik hancur dan mati daripada tetap dijajah.

Berkat perjuangan yang tak kenal menyerah itulah, Belanda kewalahan secara militer.

Kekuatan gerilya Pak Dirman luar biasa. Belanda hanya mampu menguasai perkotaan, sedangkan di luar itu, sudah masuk wilayah gerilya tentara dan pejuang kita. Di sisi lain, tekanan diplomatis terhadap Belanda juga bertubi-tubi, karena dunia internasional melihat bahwa dengan eksistensi TNI yang ditunjukkan oleh Pak Dirman membuktikan bahwa Republik Indonesia itu ada, dan bukan sekedar kumpulan gerombolan ekstrimis seperti yang santer dipropagandakan Belanda.

Akhirnya, Belanda pun benar-benar angkat tangan, dan terpaksa mengajak RI untuk berunding kembali. Perjanjian Roem Royen pun terwujud pada tanggal 7 Mei 1949, dimana Indonesia dan Belanda sepakat untuk mengakhiri permusuhan. Presiden pun telah dibebaskan oleh Belanda dan dikembalikan ke ibukota negara, waktu itu masih Yogyakarta. Namun ini masih belum final dan Pak Dirman tetap belum yakin dengan hasil perjanjian itu. Beliau tetap bersikeras melanjutkan perjuangan sampai seluruh tentara Belanda benar-benar hengkang dari tanah air.

Akhirnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX meminta kepada Kolonel Gatot Soebroto untuk menulis surat kepada Pak Dirman agar bersedia kembali ke ibukota. Berikut adalah penggalan surat Kolonel Gatot Soebroto yang meminta Pak Dirman untuk berhenti bergerilya dan beristirahat (di-EYD-kan):
“…tidak asing lagi bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar. Begitu pula dengan keadaan adikku, karena kesehatannya terganggu harus ikhtiar, mengaso sungguh-sungguh, jangan mengalih apa-apa. Laat alles waaien."

"Ini bukan supaya jangan mati konyol, tetapi supaya cita-cita adik tercapai. Meskipun buah-buahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa gembira dan mengucapkan banyak terimakasih kepada Yang Maha Kuasa."
"Ini kali saya selaku Saudara tua dari adik minta ditaati…”
Pak Dirman pun akhirnya luluh. Bagaimanapun, perjuangan adalah jalan beliau, dan kini beliau menyadari, bahwa hasil perjuangan itu sudah mendekati akhirnya.

Sebagai persiapan pulangnya Pak Dirman ke ibukota, Sri Sultan pun mengirimkan pakaian kebesaran. Namun dengan halus dan bijaksana, kiriman itu beliau tolak. Pak Dirman memilih datang sebagaimana adanya sebagaimana ketika meninggalkan ibukota untuk bergerilya, dengan segala kekurangan dan penderitaan.

Beliau datang dengan tandu, dikawal banyak sekali anak buah beliau yang amat mencintainya. Setibanya di Gedung Agung, Presiden Soekarno langsung menyambut dan merangkulnya.


Bung Karno merangkul Pak Dirman yang akhirnya tiba kembali di ibukota negara setelah berbulan-bulan bergerilya keluar masuk hutan. Bung Karno sendiri tidak tahan melihat kondisi Pak Dirman yang tampak kurus dan sangat lusuh…

Perundingan pun berlanjut kepada Konferensi Meja Bundar. Puncaknya, tidak lama berselang, Belanda terpaksa mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949, dan benar-benar hengkang dari ibu pertiwi.

Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda, 27 Desember 1949, yang tidak lepas dari hasil jerih payah perjuangan Pak Dirman.
Sayang sekali, seakan-akan senada dengan ucapan Pak Gatot Soebroto yang dibold di atas, Pak Dirman sepertinya memang ditakdirkan hanya untuk berjuang, bukan untuk menikmati kemerdekaan yang telah beliau perjuangkan. Beliau wafat dalam keadaan sakit hanya berselang 1 bulan setelah pengakuan kedaulatan RI.

Pemakaman Pak Dirman, 29 Januari 1950, hanya 1 bulan berselang setelah Pengakuan Kedaulatan RI
Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun, yakni pada tangal 29 Januari 1950 di Magelang, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Dari kisah diatas, tidak heran jika ahli sejarah mengatakan bahwa berkat Jenderal Sudirman, kolonialisme di Indonesia dapat ditumpas! Seakan-akan mereka ingin mengatakan bahwa tanpa Jenderal Soedirman, Indonesia sulit merdeka!!


Selamat Jalan Jenderal!! Segala jasa dan pengorbanan besarmu akan selalu kami kenang, serta InsyaAllah tidak akan kami sia-siakan!! Allaahu Akbar!!

Merdeka… Merdeka… Merdeka… Selamanya!


dikutib dari kompasiana

2 komentar:

Silahkan tinggalkan coment bermanfaat dari artikel diatas, budayakan membaca sebelum bertanya. Terima kasih!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...