Laman

Sabtu

Indonesia Green Awards - Mengelabui Publik

Perusahaan menjaga kelestarian lingkungan bukanlah prestasi, tapi kewajiban.

Bisnis tanpa malu bernama CRS. Terlalu banyak lelucon di dunia pengelolaan lingkungan. Lelucon yang tidak lucu tentang pemakaian paksa kata ‘green’.

Pada 28 September lalu digelar penghargaan Indonesia Green Award. Dalam daftar pemenang penghargaan ada PT Freeport Indonesia, Danone Aqua, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, BSD Green Office Park, HSBC Indonesia, PT Antam (Persero) Tbk, PT Semen Gresik (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Surabaya Plaza Hotel, PT PP (Persero) Tbk, PT BNI (Persero) Tbk, PT SMART Tbk (Kalimantan Barat), PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, PT Astra Agro Lestari Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Bukit Asam (Persero) Tbk), Sinarmas Forestry, PT Wiraswasta Gemilang Indonesia, PT Bakrieland Development Tbk, Djarum Trees for Life, dan Total EP Indonesia.

Itu untuk kategori perusahaan. Ada juga pemenang penghargaan untuk kategori pribadi. Mereka adalah Joko Widodo (walikota Solo), Valerina Daniel (penulis Buku Easy Green Living), Hugua (bupati Wakatobi), Nugie (pegiat sepeda), Tony Sumampau (pendiri Taman Safari Indonesia), M Ridwan Kamil (penggagas Jakarta Berkebun), Syahrul Effendi (walikota Jakarta Selatan), Idal Amal dan Amal Alghozali (pendiri Akademi Berkebun), Awang Foroek Ishak (gubernur Kaltim), Cathy Lengkong (ketua umum Ikatan Pemulung Indonesia), Zaby Febrina (pegiat konservasi Komodo), dan Erbe Sentanu (ketua Greenheart Indonesia).

Bagian tidak lucunya adalah bagaimana bisa perusahaan pengeruk sumber daya alam seperti Freeport dan Aqua Danone bisa diikutkan dalam nominasi Green Award. Lucunya lagi, media massa besar seperti Kompas, Jakarta Post, Republika atau detik.com menulis berita penghargaan ini seperti sebuah peristiwa biasa. Mereka tidak mengajukan pertanyaan kritis tentang pemberian penghargaan ini yang sangat mengelabui publik.

Pengelabuan itu terlihat dari penghargaan sebenarnya ditujukan untuk program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Jadi yang dinilai adalah program CSR perusahaan dalam bidang lingkungan, bukan keberpihakan perusahaan pada prinsip kelestarian lingkungan dan berkelanjutan dalam operasionalnya.

Bila perusahaan melaksanakan prinsip kelestarian lingkungan sebenarnya tidak perlu diberi penghargaan apapun. Karena itu sudah kewajiban mereka. Bukan sebuah prestasi yang harus diganjar penghargaan. Kewajiban itu diatur dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) pasal 74.
Isi UU PT pasal 74 adalah (ayat 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Ayat 2: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3: Perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pengaturan tentang CSR juga tercantum di dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) Pasal 15 huruf b. Isinya: Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Kemudian di dalam Pasal 16 huruf d UU PM disebutkan: Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Kompetensi pelaksana penghargaan ini pun patut dipertanyakan. Pada halaman muka situs indonesiagreenawards.com dimuat logo partner dan sponsor penghargaan ini. Logo Kementrian Kehutanan RI bersanding dengan logo Danone Aqua, Bakrieland, Smart Agribusiness and Food, Riaupulp, dan Sinarmas. Ada nuansa saling menggaruk punggung dalam pemberian penghargaan ini. Perusahakan memberikan uang, mereka mendapat ganjaran penghargaan.

Pelaksana penghargaan ini adalah La Tofi School of CSR dan Majalah BISNIS&CSR. Kedua entitas bisnis ini dipimpin oleh La Tofi. Ini merupakan tahun kedua IGA. Saya perlu mengutip isi situs IGA. “…. Begitu juga pada perusahaan-perusahaan besar, banyak yang memberi contoh kepada publik dengan memerhatikan lingkungan. Perusahaaan-perusahaan kelapa sawit misalnya, yang melakukan “penghutanan dengan kelapa sawit” di lahan-lahan bekas hutan yang telah rusak perlu diapresiasi. Begitu juga bagi perusahaan tambang yang melakukan rehabilitasi lahan bekas tambangnya dengan hasil baik perlu diberi penghargaan.”



Sulit untuk mencerna bagaimana lembaga Indonesia Green Awards (IGA) menciptakan istilah “penghutanan dengan kelapa sawit”. Sekitar 80 persen lahan perkebunan sawit adalah hasil konversi hutan alam. WALHI mencatat pemerintah telah melepas lebih dari 15,9 juta hektar hutan untuk perkebunan sawit. Namun, baru 5,4 juta hektar yang telah ditanami. Selebihnya ditinggalkan pengusaha setelah diambil kayunya.

Izin perkebunan menjadi akal-akalan untuk menebang kayu. Di beberapa daerah, pembukaan sawit menjadi sebab kebakaran hutan. Sawit membutuhkan derajat keasaman tertentu, yang bisa ditingkatkan dengan membakar lahan.



Satu batang pohon sawit membutuhkan 6-8 liter air per hari. Di Sumatera Utara, tidak ada satu pun tali air di sekitar perkebunan sawit yang selamat. Akar sawit dewasa sangat kuat dan tidak bisa dihancurkan oleh mikroorganisme tanah sampai 80 tahun selain secara fisik. Bila akar tanaman tua tidak dihancurkan, maka titik tumbuh dipindahkan. Sampai titik tumbuh habis, tanah menjadi gersang dan hanya bisa ditanami tanaman purba berupa paku-pakuan.

Hutan sebagai sumber binatang buruan, tumbuhan obat, rotan hutan, dan udara bersih akan hilang. Hama pengganggu seperti belalang, babi, dan kera akan memangsa tanaman masyarakat.

Saat ini kita sedang dikejutkan oleh berita puluhan orangutan (pongo pygmaeus) menjadi bulan-bulanan warga Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Kartanegara. Berdalih sebagai hama yang merusak dan menggagalkan panen tanaman kepala sawit, warga menangkap dan menyiksa orangutan. Aksi brutal dianggap belum cukup. Warga mengakhirinya dengan memotong kepala satwa dilindungi itu.

Seluruh aksi pembantaian sadis ini dikabarkan terjadi di sebuah areal konsesi perusahaan kelapa sawit Malaysia yang sedang gencar melakukan perluasan areal. Area perkebunan ini bersebelahan dengan area KBK (Kawasan Budidaya Kehutanan) yang merupakan habitat orangutan. Orangutan yang kehidupannya terusik berhamburan keluar dari tempat tinggal mereka, sebagian merusak sejumlah pohon sawit yang sedang tumbuh.



Perusahaan mengumumkan sayembara terbuka. Isinya “barang siapa baik karyawan maupun masyarakat sekitar yang mampu menangkap orangutan itu baik dalam keadaan hidup maupun mati, diberikan imbalan berupa uang dari mulai Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta. Imbalan disesuaikan dengan kecil dan besarnya tangkapan itu.
Sadis.



Selain merusak habitat hewan, kehadiran perkebunan sawit juga menciptakan ketergantungan ekonomi masyarakat pada pemilik modal. Setelah kehilangan sumber agraria dan rusaknya tata air, masyarakat lokal terpaksa menjadi buruh perkebunan dengan upah kecil. Setelah lahan pertanian berganti kebun sawit, masyarakat tidak dapat lagi menghasilkan sendiri sumber pangannya. Lantas dimana makna tanggung jawab sosial perusahaan yang dimaksud oleh Indonesia Green Awards?

sumber : akarumput.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan coment bermanfaat dari artikel diatas, budayakan membaca sebelum bertanya. Terima kasih!